Kamis, 18 April 2013

Birokrasi Di Indonesia

Istilah birokrasi tentu sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat terutama dalam penyediaan pelayanan publik atau bahkan birokrasi, diidentikkan dengan sesuatu yang lama, bertele-tele, dan rigid (kaku). Hal tersebut karena birokrasi terikat oleh peraturan atau perundang-undangan yang berlaku. Meskipun begitu, birokrasi merupakan alat pemerintah untuk menyediakan pelayananan publik dan perencana, pelaksana, dan pengawas kebijakan.

Pelaksanaan birokrasi setiap negara berbeda-beda tergantung dari sistem pemerintahan yang dianut oleh setiap negara. Dengan begitu birokrasi di Negara maju tentu akan berbeda dengan birokrasi di Negara berkembang. Birokrasi yang diterapkan sudah bagus atau belum di Negara maju dan Negara berkembang dapat terlihat dari penyediaan pelayanan publik oleh pemerintah kepada masyarakatnya seperti pengadaan barang dan jasa, terutama dalam bidang transportasi, pelayanan kesehatan, pelayanan administrasi, dan penyediaan pendidikan gratis.

Di Negara berkembang, pelayanan yang diberikan kepada masyarakat belum bisa dikatakan baik karena pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah belum bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor yaitu kondisi geografis, sumber daya manusia, sumber penerimaan, dan teknologi informasi. Sedangkan di Negara maju bisa dikatakan pelayanan public yang ada sudah baik karena hampir semua faktor tersebut bisa teratasi dengan baik.

Tiga macam pengertian birokrasi yang berkembang saat ini:
1. Birokrasi diartikan sebagai aparat yang diangkat penguasa untuk menjalankan
pemerintahan (government by bureaus).
2. Birokrasi diartikan sebagai sifat atau perilaku pemerintahan yang buruk (patologi).
3. Birokrasi diartikan sebagai tipe ideal organisasi.
Fungsi dan peran birokrasi meliputi hal-hal sebagai berikut:
(1) melaksanakan pelayanan publik;
(2) pelaksana pembangunan yang profesional (merit system);
(3) perencana, pelaksanan, dan pengawas kebijakan (manajemen pemerintahan);
(4) alat pemerintah untuk melayani kepentingan (abdi) masyarakat dan negara yang
netral dan bukan merupakan bagian dari kekuatan atau mesin politik (netralitas birokrasi).
Kewenangan birokrasi adalah kewenangan formal yang dimiliki dengan legitimasi produk hukum bukan dengan legitimasi politik.

Birokrasi terdiri dari biro yang artinya meja dan krasi yang artinya kekuasaan. Dari pengertian dua kata tersebut dapat disimpulkan bahwa birokrasi adalah kekuasaan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip ideal bekerjanya suatu organisasi. Birokrasi ini bersifat rigid atau kaku.
Khusus di Indonesia, banyaknya keluhan tentang birokrasi di Indonesia pada umumnya bermuara pada penilaian bahwa birokrasi di Indonesia tidak netral. Kenyataan tersebut tidak dapat dipungkiri, apabila melihat praktek sehari-hari, dimana birokrasi terkait dengan lembaga lainnya. Oleh karena itu, birokrasi pemerintah tidak mungkin dipandang sebagai lembaga yang berdiri sendiri, terlepas dari lembaga-lembaga lainnya.

Dalam realita, yang ada di Indonesia saat ini adalah banyak praktek buruk yang terjadi di dalam birokrasi. Dalam prakteknya, muncul kesan yang menunjukkan seakan-akan para pejabat dibiarkan menggunakan kedudukannya di birokrasi untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Hal ini dapat dibuktikan dengan hadirnya bentuk praktek birokrasi yang tidak efisien dan bertele-tele.

REFORMASI BIROKRASI, Dilemma Birokrasi Indonesia?

 Pada masa Orde Baru sampai menjelang masa transisi tahun 1998, kondisi birokrasi di Indonesia mengalami sakit bureaumania. Hal ini yang menyebabkan fungsi dari birokrasi bergeser dari fungsi utamanya sebagai pelayanan masyarakat. Penyakit yang diderita oleh birokrasi di Indonesia antara lain; kecenderungan inefisiensi, penyalahgunaan wewenang, praktek KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme) di dalam tubuh birokrasi, dan Birokrasi dijadikan alat status quo mengkooptasi masyarakat guna mempertahankan dan memperluas kekuasaan, sehingga hal ini mengakibatkan birokrasi Indonesia menjadi tidak sehat dan tidak sesuai dengan fungsi utama nya sebagai pelayan masyarakat. Di indonesia saat ini yang terjadi adalah adanya dekooptasi birokrasi oleh politik, Birokrasi dijadikan secara struktural untuk mendukung pemenangan partai politik pemerintah. Gejala tumpang tindihnya peran sebagai pelayan masyarakat dan aktor politik sekaligus, baik dalam tingkatan perorangan maupun institusi birokrasi, diyakini akan menyebabkan conflict of interest yang pada akhirnya akan merusak salah satu wadah tersebut, merusak kinerja birokrasi ataupun bisa merusak kehidupan politik, yang menciptakan pembusukan politik dalam jangka panjang. Selain itu adanya kooptasi politik didalam tubuh birokrasi juga memicu timbulnya korupsi, karena dalam politik membutuhkan biyaya yang bersumber dari Birokrasi. Birokrasi di Indonesia masih menganut budaya Patron Clien, atau budaya “kebapakan”, loyalitas kepada atasan yang terlalu berlebihan dan hirarkis, megakibatkan  kebiasaan kerja yang cenderung tidak efektif dan efisien,  karena setiap pekerjaan harus menunggu petunjuk, perintah dan persetujuan dari atasan. Akibatnya kreatifitas, inisiatif dan sikap kemandirian birokrasi menjadi berkurang dan kualitas pelayanan birokrasi dinilai buruk, lama, berbelit-belit.

  Birokrasi di Indonesia cenderung tidak efisien dan “gemuk”. Keadaan itu menunjukkan gejala over-bureaucratic, jumlah personal tidak sebanding dengan beban kerja birokrasi yang sebenarnya. Birokrasi yang membesar ini jika tidak dibatasi peran dan fungsinya maka dengan sendirinya akan “mengurusi” dan memaksa masuk semua bidang kemasyarakatan menjadi urusannya, yang semestinya bisa dilakukan oleh masyarakat sendiri. Padahal urusan masyarakat dan pasar tersebut akan lebih cepat, efisien dan bisa berjalan dengan sendirinya tanpa memerlukan campur tangan berlebihan dari birokrasi.

Reformasi Birokrasi di Indonesia

                 Melihat kondisi birokrasi di Indonesia yang sedang mengalami sakit “bureaumania”, sangat perlu mereformasi didalam tubuh birokrasi tersebut. Sasarannya agar birokrasi Indonesia mampu keluar dari terulangnya gejala pembusukan politik dan melanjutkan penerapan agenda demokratisasi yang sedang dibangun, sebagai berikut: Birokrasi bertindak profesional terhadap publik

                 Berperan menjadi pelayan masyarakat (public servent). Dalam memberikan pelayanan ada transparansi biaya dan tidak terjadi pungutan liar. PNS perlu memberikan informasi dan transparansi sebagai hak masyarakat dan bisa dimintai pertanggungjawabannya (public accountibility).

Melakukan pemberdayaan publik dan mendukung terbangunnya proses demokratisasi. Birokrasi yang saling bersaing antar bagian dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas dalam melayani publik secara kompetitif, bukan minta dilayani atau membebani masyarakat dengan pungutan liar, salah urus, dan ketidakpedulian. Birokrasi yang melakukan rekruitmen sumber daya manusianya melalui seleksi fit and proper test, bukan mengangkat staf atau pimpinan karena alasan kolusi dan nepotisme.

Birokrasi yang memberikan reward merit system (memberikan penghargaan dan imbalan gaji sesuai pencapaian prestasi) bukan spoil system (hubungan kerja yang kolutif, diskriminatif dan kurang mendidik, pola reward dan punishment kurang berjalan). Birokrasi yang bersikap netralitas politik, tidak diskriminatif, tidak memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan partai politik tertentu. Arah baru atau model reformasi birokrasi perlu dirancang untuk mendukung demokratisasi dan terbentuknya clean and good governance yaitu tumbuhnya pemerintahan yang rasional, melakukan transparansi dalam berbagai urusan publik, memiliki sikap kompetisi antar departemen dalam memberikan pelayanan, mendorong tegaknya hukum dan bersedia memberikan pertanggungjawaban terhadap publik (public accountibility) secara teratur.

Permasalahan Birokrasi Indonesia

Birokrasi di Indonesia memiliki posisi dan peran yang sangat strategis. Birokrasi menguasai banyak aspek dari hajat hidup masyarakat. Mulai dari urusan kelahiran, pernikahan, perizinan usaha sampai urusan kematian, masyarakat tidak bisa menghindar dari birorkasi. Ketergantungan masyarakat sendiri terhadap birokrasi juga masih sangat besar.
Ditinjau dari aspek kebudayaan, aparatur birokrasi memiliki status sosial yang tinggi di tengah masyarakat. Status sosial tersebut merupakan aset kekuasaan, karena orang cenderung mau tunduk pada orang lain yang memiliki status sosial lebih tinggi.
Dalam kaitan penyelenggaraan pemerintahan, dengan sifat dan lingkup pekerjaannya, birokrasi menguasai aspek-aspek yang sangat luas dan strategis. Birokrasi menguasai akses-akses sumber daya alam, anggaran, pegawai, proyek-proyek, serta menguasai akses pengetahuan dan informasi yang tidak dimiliki pihak lain.
Dengan posisi dan kemamampuan besar yang dimilikinya tersebut, birokrasi bukan saja mempunyai akses yang kuat untuk membuat kebijakan yang tepat secara teknis, tetapi juga mendapat dukungan yang kuat dari masyarakat dan dunia usaha. Birokrasi dengan aparaturnya juga memiliki berbagai keahlian teknis yang tidak dimiliki oleh pihak-pihak non birokrasi, seperti dalam hal perencanaan pembangunan, pengelolaan infrastruktur, penyelenggaraan pendidikan, pengelolaan transportasi dan lain-lain.
Birokrasi di Indonesia juga memegang peranan penting dalam perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan berbagai kebijakan publik, serta dalam evaluasi kinerjanya. Dari gambaran di atas nyatalah, bahwa birokrasi di Indonesia memiliki peran yang cukup besar. Besarnya peran birokrasi tersebut akan turut menentukan keberhasilan pemerintah dalam menjalankan program dan kebijakan pembangunan.
Jika birokrasi buruk, upaya pembangunan akan dipastikan mengalami banyak hambatan. Sebaliknya, jika birokrasi bekerja secara baik, maka program-program pembangunan akan berjalan lebih lancar. Pada tataran ini, birokrasi menjadi salah satu prasyarat penting keberhasilan pembangunan.
Di tengah posisinya yang cukup strategis, birokrasi di Indonesia sulit menghindar dari berbagai kritik yang hadir yaitu:
  1. Buruknya pelayanan publik
  2. Besarnya angka kebocoran anggaran negara
  3. Rendahnya profesionalisme dan kompetensi PNS
  4. Sulitnya pelaksanaan koordinasi antar instansi
  5. Masih banyaknya tumpang tindih kewenangan antar instansi, aturan yang tidak sinergis dan tidak relevan dengan perkembangan aktual, dan masalah-masalah lainya.
  6. Birokrasi juga dikenal enggan terhadap perubahan, eksklusif, kaku dan terlalu dominan, sehingga hampir seluruh urusan masyarakat membutuhkan sentuhan-sentuhan birokrasi
  7. Tingginya biaya yang dibebankan untuk pengurusan hal tertentu baik yang berupa legal cost maupun illegal cost, waktu tunggu yang lama, banyaknya pintu layanan yang harus dilewati dan tidak berperspektif pelanggan.