Pada masa Orde Baru sampai menjelang masa transisi tahun 1998, kondisi birokrasi di Indonesia mengalami sakit bureaumania. Hal ini yang menyebabkan fungsi dari birokrasi bergeser dari fungsi utamanya sebagai pelayanan masyarakat. Penyakit yang diderita oleh birokrasi di Indonesia antara lain; kecenderungan inefisiensi, penyalahgunaan wewenang, praktek KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme) di dalam tubuh birokrasi, dan Birokrasi dijadikan alat status quo mengkooptasi masyarakat guna mempertahankan dan memperluas kekuasaan, sehingga hal ini mengakibatkan birokrasi Indonesia menjadi tidak sehat dan tidak sesuai dengan fungsi utama nya sebagai pelayan masyarakat. Di indonesia saat ini yang terjadi adalah adanya dekooptasi birokrasi oleh politik, Birokrasi dijadikan secara struktural untuk mendukung pemenangan partai politik pemerintah. Gejala tumpang tindihnya peran sebagai pelayan masyarakat dan aktor politik sekaligus, baik dalam tingkatan perorangan maupun institusi birokrasi, diyakini akan menyebabkan conflict of interest yang pada akhirnya akan merusak salah satu wadah tersebut, merusak kinerja birokrasi ataupun bisa merusak kehidupan politik, yang menciptakan pembusukan politik dalam jangka panjang. Selain itu adanya kooptasi politik didalam tubuh birokrasi juga memicu timbulnya korupsi, karena dalam politik membutuhkan biyaya yang bersumber dari Birokrasi. Birokrasi di Indonesia masih menganut budaya Patron Clien, atau budaya “kebapakan”, loyalitas kepada atasan yang terlalu berlebihan dan hirarkis, megakibatkan kebiasaan kerja yang cenderung tidak efektif dan efisien, karena setiap pekerjaan harus menunggu petunjuk, perintah dan persetujuan dari atasan. Akibatnya kreatifitas, inisiatif dan sikap kemandirian birokrasi menjadi berkurang dan kualitas pelayanan birokrasi dinilai buruk, lama, berbelit-belit.
Birokrasi di Indonesia cenderung tidak efisien dan “gemuk”. Keadaan itu menunjukkan gejala over-bureaucratic, jumlah personal tidak sebanding dengan beban kerja birokrasi yang sebenarnya. Birokrasi yang membesar ini jika tidak dibatasi peran dan fungsinya maka dengan sendirinya akan “mengurusi” dan memaksa masuk semua bidang kemasyarakatan menjadi urusannya, yang semestinya bisa dilakukan oleh masyarakat sendiri. Padahal urusan masyarakat dan pasar tersebut akan lebih cepat, efisien dan bisa berjalan dengan sendirinya tanpa memerlukan campur tangan berlebihan dari birokrasi.
Reformasi Birokrasi di Indonesia
Melihat kondisi birokrasi di Indonesia yang sedang mengalami sakit “bureaumania”, sangat perlu mereformasi didalam tubuh birokrasi tersebut. Sasarannya agar birokrasi Indonesia mampu keluar dari terulangnya gejala pembusukan politik dan melanjutkan penerapan agenda demokratisasi yang sedang dibangun, sebagai berikut: Birokrasi bertindak profesional terhadap publik
Berperan menjadi pelayan masyarakat (public servent). Dalam memberikan pelayanan ada transparansi biaya dan tidak terjadi pungutan liar. PNS perlu memberikan informasi dan transparansi sebagai hak masyarakat dan bisa dimintai pertanggungjawabannya (public accountibility).
Melakukan pemberdayaan publik dan mendukung terbangunnya proses demokratisasi. Birokrasi yang saling bersaing antar bagian dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas dalam melayani publik secara kompetitif, bukan minta dilayani atau membebani masyarakat dengan pungutan liar, salah urus, dan ketidakpedulian. Birokrasi yang melakukan rekruitmen sumber daya manusianya melalui seleksi fit and proper test, bukan mengangkat staf atau pimpinan karena alasan kolusi dan nepotisme.
Birokrasi yang memberikan reward merit system (memberikan penghargaan dan imbalan gaji sesuai pencapaian prestasi) bukan spoil system (hubungan kerja yang kolutif, diskriminatif dan kurang mendidik, pola reward dan punishment kurang berjalan). Birokrasi yang bersikap netralitas politik, tidak diskriminatif, tidak memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan partai politik tertentu. Arah baru atau model reformasi birokrasi perlu dirancang untuk mendukung demokratisasi dan terbentuknya clean and good governance yaitu tumbuhnya pemerintahan yang rasional, melakukan transparansi dalam berbagai urusan publik, memiliki sikap kompetisi antar departemen dalam memberikan pelayanan, mendorong tegaknya hukum dan bersedia memberikan pertanggungjawaban terhadap publik (public accountibility) secara teratur.
Birokrasi di Indonesia cenderung tidak efisien dan “gemuk”. Keadaan itu menunjukkan gejala over-bureaucratic, jumlah personal tidak sebanding dengan beban kerja birokrasi yang sebenarnya. Birokrasi yang membesar ini jika tidak dibatasi peran dan fungsinya maka dengan sendirinya akan “mengurusi” dan memaksa masuk semua bidang kemasyarakatan menjadi urusannya, yang semestinya bisa dilakukan oleh masyarakat sendiri. Padahal urusan masyarakat dan pasar tersebut akan lebih cepat, efisien dan bisa berjalan dengan sendirinya tanpa memerlukan campur tangan berlebihan dari birokrasi.
Reformasi Birokrasi di Indonesia
Melihat kondisi birokrasi di Indonesia yang sedang mengalami sakit “bureaumania”, sangat perlu mereformasi didalam tubuh birokrasi tersebut. Sasarannya agar birokrasi Indonesia mampu keluar dari terulangnya gejala pembusukan politik dan melanjutkan penerapan agenda demokratisasi yang sedang dibangun, sebagai berikut: Birokrasi bertindak profesional terhadap publik
Berperan menjadi pelayan masyarakat (public servent). Dalam memberikan pelayanan ada transparansi biaya dan tidak terjadi pungutan liar. PNS perlu memberikan informasi dan transparansi sebagai hak masyarakat dan bisa dimintai pertanggungjawabannya (public accountibility).
Melakukan pemberdayaan publik dan mendukung terbangunnya proses demokratisasi. Birokrasi yang saling bersaing antar bagian dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas dalam melayani publik secara kompetitif, bukan minta dilayani atau membebani masyarakat dengan pungutan liar, salah urus, dan ketidakpedulian. Birokrasi yang melakukan rekruitmen sumber daya manusianya melalui seleksi fit and proper test, bukan mengangkat staf atau pimpinan karena alasan kolusi dan nepotisme.
Birokrasi yang memberikan reward merit system (memberikan penghargaan dan imbalan gaji sesuai pencapaian prestasi) bukan spoil system (hubungan kerja yang kolutif, diskriminatif dan kurang mendidik, pola reward dan punishment kurang berjalan). Birokrasi yang bersikap netralitas politik, tidak diskriminatif, tidak memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan partai politik tertentu. Arah baru atau model reformasi birokrasi perlu dirancang untuk mendukung demokratisasi dan terbentuknya clean and good governance yaitu tumbuhnya pemerintahan yang rasional, melakukan transparansi dalam berbagai urusan publik, memiliki sikap kompetisi antar departemen dalam memberikan pelayanan, mendorong tegaknya hukum dan bersedia memberikan pertanggungjawaban terhadap publik (public accountibility) secara teratur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar